![]() |
sumber: gardencenter.co.id |
Sebagai salah satu suku terbesar di Indonesia, budaya
Jawa sangat seru untuk ditelusuri dan dianalisa, pada artikel ini kita akan
menganalisa makna dari rumah adat Jawa Tengah.
Kearifan Lokal Bersejarah Jawa
Sebelum kedatangan agama Hindu, orang Jawa sudah mengenal konsep kosmologi. Namun, dengan masuknya pengaruh Hindu India, konsep tersebut memiliki nuansa, seperti tampilan luar menjadi lebih sempurna meski isinya tetap sama, atau berganti pakaian baru meski tubuhnya tetap sama. Akibatnya, rumah Jawa lebih dari sekedar tempat tinggal. Rumah adalah unit simbolis bagi pemiliknya, dan lokasinya mencerminkan kepribadian dan kehidupan penghuninya. Dengan demikian, menganalisis rumah tradisional Jawa sama halnya dengan membahas masyarakat dan budaya Jawa secara umum.
Rumah adat Jawa Tengah memiliki tiga tingkat
dalam struktur vertikalnya. Bagian atas disebut sebagai kepala, bagian tengah
sebagai badan, dan bagian bawah sebagai kaki. Rumah Jawa didesain menyerupai
puncak gunung. Meru adalah nama sebuah gunung yang dianggap sebagai rumah para
dewa. Rumah adat biasanya berbentuk seperti meru. Tak heran jika gunungan yang
dibayangkan Meru terwujud dalam bentuk gunungan wayang kulit purwa atau dikenal
juga dengan sebutan kaju, yang berarti "pohon kehidupan" dalam ilmu
kejawen.
Pertunjukan wayang dan ilmu kejawen sangat lekat
dengan budaya Jawa, sebagai contoh dapat dilihat ketika dalang purwa
menempatkan gunungan di tengah layar sebelum pertunjukan wayang dimulai.
Gunungan atau kayon melambangkan kepercayaan orang Jawa bahwa pada mulanya
tidak ada kelahiran, hanya ada awang-uwung dan yang pertama hanya ada kaju.
Segera setelah itu, dalang menyeret turun gunung, melambangkan keberadaan
inkarnasi zat pertama (gesang heelis). Padahal, yang menarik adalah gunung itu
dirobohkan sebanyak tiga kali. Ini mungkin merupakan salah satu dari tiga
tingkat pembukaan sistem maligai, yang terletak di kepala sebagai sumber kreativitas
atau baital yang makmur.
Tingkatan ketiga terletak di bagian bawah dan
merupakan asal muasal karsa atau baital mukadas. Gunung itu kemudian bergeser,
sehingga tidak lagi berada di tengah. Setelah gerakan kayon (gunung) di tengah
layar, menandakan adanya kehidupan atau kaju yaitu bayi, hal ini mengandung
makna yang dalam. Kayon atau gunungan adalah inti dari rumah tradisional Jawa,
merupakan simbol kehidupan atau kekuatan hidup. Akibatnya, rumah dianggap
sebagai penghubung antara bumi (dunia bawah) dan langit dalam cara hidup orang
Jawa (dunia atas).
Puncak struktur rumah adalah lokasi metakosmos, dunia
spiritual yang tak terlihat dan tak terlihat. Hanya ada awan uwung di puncak
atap, yang secara lahiriah fenomena ini menggambarkan alam semesta yang tunggal
dan kosong, tetapi secara batiniah bukan hanya berarti kosong tetapi juga
berisi segalanya.
Di dunia ini, Wujud berada di luar jangkauan
pengalaman manusia. Dia tidak kosong, tetapi segala sesuatu yang ada dan
mungkin kosong; namun, isi penuh manusia, dunia, dan alam semesta berasal dari
sana.
Rumah Adat Jawa Tengah di Masa Kuno
Dahulu kala, Rumah Joglo tidak hanya dianggap sebagai tempat tinggal saja. Namun, itu juga merupakan simbol status sosial pemiliknya. Hanya keturunan kerajaan dan bangsawan yang bisa membuat dan memiliki rumah Joglo.
Dibutuhkan banyak waktu dan biaya untuk membangun Rumah Joglo. Alhasil, Rumah Joglo awalnya hanya dimiliki oleh raja-raja dan bangsawan lainnya. Rata-rata orang dengan status sosial lain tinggal di rumah adat yang berbeda jenis.
Penutup
Joglo, atau rumah adat Jawa Tengah adalah subjek penelitian yang menarik. Banyak unsur budaya yang dapat ditemukan dan dipelajari dari unsur dan bentuk rumah joglo tersebut. Rumah Adat Joglo bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai simbol. Rumah ini ditopang oleh empat tiang utama. Tiang utama yang terdiri dari empat pilar melambangkan arah mata angin, yaitu barat, timur, selatan, dan utara. Pilar guru disebut juga dengan tanaman sela karena tersusun dalam pola terbalik.
Posting Komentar untuk "Analisa Budaya dari Rumah Adat Jawa Tengah"