Peran Industri Sigaret Kretek Tangan (SKT) dalam Menyejahterakan Perempuan dan Penyandang Disabilitas Daerah Pinggiran

Belakangan ini, film “Gadis Kretek” sedang hangat dibincangkan dan viral di media sosial. Bahkan film ini masuk ke dalam 10 top global Netflix. Kok bisa?

“Gadis Kretek” diadaptasi dari sebuah novel fiksi berjudul serupa yang ditulis oleh Ratih Kumala, salah satu novelis terbaik tanah air. “Gadis Kretek” berkisah tentang seorang perempuan bernama Dasiyah atau “Jeng Yah”, diperankan oleh Dian Sastrowardoyo, yang mahir menentukan kualitas tembakau terbaik serta memiliki racikan saus kretek yang sangat enak. Berkat keahliannya ini, Dasiyah menjadi faktor kunci di balik kesuksesan bisnis kretek ayahnya di kota M.

Meski terampil menciptakan kretek terbaik, nasib Dasiyah tak seharum kretek lintingannya. Ia mengalami diskriminasi budaya feodal Jawa yang memandang perempuan sebelah mata. Prestasi Dasyiah itu tak dianggap, kemampuannya tak dipercaya oleh masyarakat kala itu. Barangkali, kisah perjuangan perempuan melawan diskriminasi budaya feodal inilah yang membuat film ini kian memikat.

Film “Gadis Kretek” mengingatkan saya pada para pekerja Sigaret Kretek Tangan (SKT) di Indonesia, sebab 97% dari pekerja pelinting kretek Indonesia adalah perempuan. Mirip Dasyiah, buruh pelinting adalah perempuan tangguh, menjadi tulang punggung keluarga yang berjuang di tengah kondisi sosial dan regulasi yang mendiskreditkan ekosistem pertembakauan. Padahal mereka amat bergantung pada profesi pelinting sigaret untuk mengemban peran ganda sebagai pencari nafkah sekaligus mengurus rumah tangga.

Kaum ibu bisa mengubah nasib, menafkahi keluarga, menyekolahkan anak, bahkan menyumbang pendapatan negara dari melinting tembakau. Sayangnya, profesi dan kontribusi mereka masih dipandang sebelah mata.

Oke, mari kita mengenal lebih dekat “Dasiyah masa kini” bernama Masriah, Andini, dan Siti. Mereka adalah karyawan pabrik SKT di Ngawen, Salatiga.

Dalam wawancaranya berasama Liputan6.com, Siti (Siti Sunarti) mengaku sudah bekerja sebagai karwayan pabrik SKT Salatiga selama lebih dari dua puluh tahun. Dari profesinya melinting sigaret, ia juga dapat membantu suaminya yang bekerja serabutan dan tidak menentu penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Selain itu, Siti juga berhasil menyekolahkan anak-anaknya. Bahkan, anaknya yang kedua berhasil meraih gelar sarjana dengan nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) cumlaude! Sebelumnya ia sempat pesimis dengan kondisi ekonominya yang pas-pasan serta berkali-kali ditolak kerja hingga akhirnya diterima oleh pabrik SKT Salatiga.

Selain menjadi sandaran hidup puluhan tahun, pabrik SKT Salatiga juga menjadi harapan kala krisis Pandemi. Di tengah banyak perusahaan yang ramai-ramai melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) ribuan karyawannya, pabrik SKT Salatiga justru tetap aktif menyerap tenaga kerja. Kondisi inilah yang dirasakan oleh Andini yang telah menjadi karyawan pelinting sigaret di pabrik tersebut sejak tahun 2020, saat Pandemi memuncak.

Andini menceritakan pada Mediaindonesia.com, bahwa sebelumnya ia pernah bekerja di salah satu perusahaan swasta daerah Kuningan, Jawa Barat. Kala itu, perusahaannya baik-baik saja hingga kemudian Covid-19 mengamuk di Indonesia. Akibatnya, perusahaan yang ia tempati terpaksa melakukan PHK besar-besaran. Andini pun menjadi salah satu korbannya.

PHK membuat Andini terpukul berat. Terlebih ia adalah anak pertama dari tujuh bersaudara yang menjadi tumpuan harapan orang tua dalam menopang beban ekonomi keluarga. Ia pun merasa pesimis bisa meperoleh pekerjaan di tengah Pandemi. Namun kemudian, temannya memberitahu bahwa pabrik SKT Salatiga membuka lowongan kerja. Ia pun melamar dan diterima menjadi karyawan tetap.

Andini bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Ia juga bisa menyekolahkan ketiga adiknya dan menabung. Tak hanya itu, Andini bahkan juga mampu melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) AMA Salatiga dari jerih payahnya melinting tembakau.

Industri SKT tak hanya membantu kaum perempuan mengubah nasib, namun juga memberi harapan hidup bagi penyandang disabilitas. Mereka dapat hidup sejahtera, merasakan keramahan dan kesempatan yang setara. Salah satu yang merasakan ekonomi inklusif ini adalah Amarul Masriah, karyawan pabrik SKT.

Ketika diwawancara Mediaindonesia.com, Masriah mengaku bisa memenuhi kebutuhan hidup dan menafkahi keluarganya dari melinting kretek. Bahkan, ia juga sanggup membiayai sekolah ketiga anaknya.

Sebelumnya, Masriah sangat pesimis bisa memperoleh pekerjaan di sektor formal mengingat ia adalah penyandang disabilitas sejak kecil. Ia sempat tak percaya diri ketika diajak bekerja di pabrik SKT Salatiga. Namun rupanya, ia justru diterima menjadi karyawan tetap.

Selama bekerja, Masriah merasa nyaman karena teman-teman dan manajemen pabrik tidak ada yang melakukan diskriminasi. Semua sangat ramah padanya. Hingga sekarang, pabrik SKT Salatiga terus menyediakan lowongan kerja khusus disabilitas. Tentunya, kebijakan semacam ini cukup jarang ditemukan pada industri lainnya yang bersifat padat karya.

Masriah berharap pabrik SKT tempatnya bekerja dapat terus berproduksi agar ia dan teman-temannya tidak terkena PHK.

Inklusif dan Berperan Mengatasi Problem Pengangguran di Daerah

Kisah di atas mengungkap bahwa industri SKT adalah sektor ekonomi yang inklusif sebab membantu kaum perempuan dan disabilitas untuk bangkit dan berdaya. Berkat sifatnya yang padat karya, industri SKT mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar di daerah sehingga sangat berperan dalam mengatasi problem pengangguran dan laju urbanisasi besar-besaran ke kota-kota.

Pabrik SKT Salatiga adalah salah satu dari 754 pabrik SKT yang masih tersisa di Indonesia. Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) mencatat sebanyak 3.195 pabrik SKT telah gulung tikar sepanjang 10 tahun terakhir. Padahal masih banyak warga yang berharap memperoleh pekerjaan dari melinting sigaret kretek. Contohnya adalah pabrik SKT Salatiga.

Lihat saja di grup-grup Facebook info Loker (Lowongan Kerja) area Salatiga, Semarang dan sekitarnya. Di sana, update info lowongan kerja (Loker) pabrik SKT Salatiga cukup sering ditanyakan dan muncul, baik dalam status maupun percakapan komentar dalam grup info Loker.

Pemandangan serupa juga terjadi di kantor satpam pabrik SKT Salatiga yang sering didatangi masyarakat yang menanyakan maupun menitipkan berkas lamaran kerja.

“Kebanyakan mbokde-mbokde (ibu-ibu) yang kerja di sana (pabrik SKT Ngawen, Salatiga) mas” ujar salah satu warga di daerah Getasan, ketika saya bertanya perihal pekerja di sana.

Tiap ada orang yang kebingungan mencari kerja, warga pun sering merekomendasikan pabrik SKT Salatiga. Menurut beberapa orang, tempatnya nyaman buat bekerja. Bahkan pemerintah kota Salatiga, melalui Disperinnaker, juga aktif merespon dan memberikan info lowongan kerja di pabrik SKT kepada masyarakat yang bertanya. Pabrik SKT menjadi mitra pemerintah dalam mengatasi pengangguran.

Di Salatiga, pabrik SKT menjadi salah satu lapangan kerja yang cukup diminati. Mengapa? Sebab terjangkau oleh kalangan masyarakat lebih luas.

Dari segi persyaratan umur, pabrik SKT hanya mencantumkan batas usia minimum 18 tahun, baik untuk pria maupun wanita. Tidak seperti lowongan kerja pada umumnya yang menerapkan batasan umur maksimal 20-an tahun. Padahal ada lebih banyak warga berumur 30-an tahun yang sangat membutuhkan pekerjaan.

Lalu, persyaratan minimal pendidikan yang diminta oleh pabrik SKT Salatiga cukup lulusan Sekolah Dasar (SD). Persyaratan ini tentu mengakomodir sebagian besar warga Indonesia yang tidak berkesempatan untuk masuk ke perguruan tinggi.

Mengutip data dari databoks per-Juni 2022, disebutkan bahwa hanya ada 6,41% lulusan perguruan tinggi dari total 275,36 juta jiwa penduduk Indonesia. Sebagian besar penduduk Indonesia hanya tamatan Sekolah Dasar (SD) mencapai 23,4%. Namun, masyarakat yang tidak lulus SD justru lebih banyak lagi, mencapai 23,61%. Angka ini lalu disusul oleh tamatan Sekolah Lanjut Atas (SLTA) sebanyak 20,89% kemudian Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebanyak 14,54%.

Pabrik SKT juga tidak mensyaratkan pelamar harus sudah berpengalaman bekerja sebelumnya sebab ada masa training. Jadi, dapat disebut bahwa pabrik SKT adalah penyedia lapangan kerja dengan syarat paling masuk akal dan relevan dengan kenyataan SDM Indonesia. Lebih inklusif.

Bayangkan bila semua lapangan kerja mengharuskan calon pegawainya berpendidikan tinggi, berpengalaman, dan berusia muda sekaligus, maka jangan heran bila banyak pengangguran. Lowongan kerja yang berbelit-belit, tidak masuk akal, berkontribusi pada pemiskinan masyarakat Indonesia.

Umumnya, pelamar yang diterima akan dijadikan pegawai tetap pabrik SKT. Mereka akan mendapatkan gaji di atas upah minimum kota/kabupaten (UMK) dan jaminan BPJS 100%. Mereka yang lembur juga dibayar sesuai ketentuan perundang-undangan. Khusus pekerja perempuan, mereka akan mendapat premi haid, hak cuti melahirkan dan keguguran. Para karyawan juga mendapatkan premi hadir, cuti mengkhitankan, menikahkan anak, serta cuti ibadah haji dan cuti tahunan.

Dari segi keselamatan kerja, pabrik SKT Salatiga termasuk aman. Bahkan pabrik ini meraih penghargaan zero accident, dimana perusahaan tidak pernah mengalami kecelakaan kerja selama satu tahun terakhir. Proses produksi sigaret yang dilakukan secara manual rupanya lebih aman dibandingkan pabrik dengan mesin-mesin besar dan otomatis. Lingkungan kerjanya juga asri nan teduh karena terdapat pepohon besar dalam kota.

Kontribusi Industri Hasil Tembakau (IHT)

Pabrik sigaret kretek tangan adalah satu dari ekosistem mata rantai industri tembakau yang telah menopang kehidupan jutaan masyarakat Indonesia sejak puluhan tahun lalu. Mengacu pada data “Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia” (AMTI), total pekerja yang mampu diserap oleh ekosistem pertembakauan mencapai 6,7 juta jiwa. Jumlah itu meliputi; 4,28 juta jiwa adalah pekerja di sektor manufaktur (pabrik) dan distribusi, lalu 1,7 juta jiwa bekerja di sektor perkebunan, dan 725.000 tenaga kerja di sektor ekonomi kreatif.

Belum terhitung efek ekonomi yang ditimbulkan oleh keberadaan pabrik SKT, seperti munculnya warung makan, toko kelontong, kos-kosan karyawan, hingga jasa-jasa lainnya. Lalu, banyak pedagang pengecer dan UMKM yang bertumpu pada komoditas sigaret sebagai sumber penghasilan harian mereka. Jadi, ada banyak lapangan kerja yang tercipta.

Bila perempuan bisa berpenghasilan dari melinting kretek di pabrik, maka kaum laki-laki pun bisa berpenghasilan dari menanam tembakau. Para petani tembakau bisa hidup dan menafkahi keluarganya sebab harga jual-beli tembakau cukup tinggi, yakni dari 65 ribu hingga 100 ribu rupiah per kilogram.

Tembakau adalah komoditas yang cukup diandalkan oleh petani, terutama selama musim kemarau panjang dimana lahan tak bisa ditanami apa pun. 99,6% produksi tembakau nasional berasal dari perkebunan rakyat, alias perkebunan yang dikelola keluarga petani dengan skala usaha kecil atau usaha rumah tangga.

Tanaman tembakau tidak mengancam ketahanan pangan, sebab lahan perkebunan tembakau hanya mencakup 0,25% dari lahan pertanian. Mengingat kontribusinya yang signifikan, tembakau pun dideklarasikan pemerintah sebagai salah satu komoditas strategis nasional dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Selain menyediakan lapangan kerja, Industri Hasil Tembakau (IHT) juga berkontribusi pada perekonomian nasional melalui pendapatan cukai. Menurut data Kementrian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan bahwa penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) sepanjang 2022 mencapai Rp218,62 triliun. Secara prosentase, IHT telah menyumbangkan 11 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang totalnya mencapai Rp3.000 triliun.

Bayang-Bayang PHK

Meski berperan besar bagi masyarakat dan negara, ekosistem pertembakauan justru mendapat beragam upaya pelarangan, seolah hendak dilenyapkan. Misalnya dengan cara menaikan cukai hingga aturan dan wacana yang menyamakan tembakau dengan narkoba.

Salah satu aturan yang cukup meresahkan adalah pasal 154 RUU Kesehatan yang menyamakan tembakau dengan narkotika, psikotropika, dan minuman beralkohol yang merupakan barang ilegal. Dengan demikian, produk tembakau otomatis dianggap sebagai barang terlarang. Konsekuensinya, seluruh ekosistem pertembakauan dari hulu sampai hilir juga akan dilarang. Tentu aturan ini bukan lagi sekedar mengatur konsumsi tembakau.

Menyamakan tembakau dengan narkotika bertentangan dengan hasil-hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menegaskan bahwa nikotin yang terdapat dalam tembakau merupakan zat adiktif yang legal, sama seperti kafein pada kopi, teh, dan minuman berenergi.

Putusan MK No. 34/PUU-VIII/2010 menegaskan bahwa pengaturan tembakau dan produk yang mengandung tembakau bertujuan untuk melakukan pengamanan atas konsumsinya, bukan menghilangkan tembakau atau produk yang mengandung tembakau. UU tersebut hanya melakukan pengamanan dan perlindungan kesehatan, bukan pelarangan.

Lalu, Putusan MK No. 6/PUU-VII/2009 menyebutkan bahwa sisi adiktif tembakau (nikotin-rokok) letaknya sejajar dengan kafein dan tidak sama tingkatnya dengan opium, kokain, ganja, halosinogen, atau pun macam-macam zat se-adiktif hipnotik. Sebab itu, pengaturan mengenai rokok tidak pernah disetarakan dengan pengaturan mengenai narkotika dan obat-obatan terlarang. Jadi, statusnya sama dengan kopi, teh, dan cokelat yang mengandung kafein yang juga merupakan zat adiktif.

Selain bertentangan dengan putusan MK, RUU Kesehatan dapat merugikan rakyat. Mengapa? Sebab RUU Kesehatan melarang total ekosistem pertembakauan dari hulu hingga hilir. Dampaknya, ada 6 juta orang kehilangan pekerjaan. Petani tembakau kehilangan sumber matapencaharian. Mereka yang bergantung pada penjualan produk sigaret akan kehilangan penghasilan. Bidang usaha yang muncul dari pabrik SKT juga akan gulung tikar. Negara pun akan kehilangan 11% pendapatan APBN dari ekosistem pertembakauan.

Sebaiknya, pembahasan tentang ekosistem pertembakauan tidak bisa dilakukan secara sepihak dan terkesan diskriminatif. Pembuatan aturan harus bersifat inklusif, holistik, melibatkan semua stake-holder ekosistem terkait sehingga masyarakat kecil tidak dirugikan.

Seperti nasib Dasiyah “Gadis Kretek, Masriah, Andini, Siti, dan jutaan perempuan karyawan pelinting kretek di Indonesia lainnya kini tengah mengalami diskriminasi. Jika dulu Dasiyah harus menghadapi diskriminasi budaya feodal Jawa yang menghalangi perempuan untuk maju, maka perempuan pelinting kretek hari ini menghadapi peraturan imparsial yang membuat mereka berada dalam bayang-bayang PHK dan ketidakberdayaan.

Di akhir wawancara, Masriah, Andini, dan Siti hanya bisa berharap semoga pemerintah punya keberpihakan pada mereka yang menggantungkan hidup dan pendidikan anaknya dari melinting sigaret kretek tangan.

Referensi pendukung:

Pulang Rumah
Pulang Rumah Blog ini dikelola oleh Alif Syuhada

Posting Komentar untuk "Peran Industri Sigaret Kretek Tangan (SKT) dalam Menyejahterakan Perempuan dan Penyandang Disabilitas Daerah Pinggiran"